1.1.Perjalanan SRI
SRI (System of Rice Intensification) adalah
cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses management
sistem perakaran dengan berbasis pada pengelolaan: Tanah, Tanaman dan Air.
Cara
tanam ini pertama di kaji di Jaringan IPPHTI yaitu di Kelompok Studi Petani
(KSP) Tirtabumi Desa Budiasih Kecamatan Cikoneng Kab Ciamis Provinsi Jawa
Barat, mulai bulan Pebruari 2000 oleh : Enceng Asikin, Euis Holisoh, Iik
Mudrikah, Kuswara, Acep Koswara, Dede, Lili, dan Khoer. dengan memadukan
praktek pemahaman Pembelajaran Ekologi Tanah (PET).
Informasi
tentang SRI diterima dari penggagas SRI di Madagascar melalui FAO-IPM, sebagai
bahan kajian dalam rangka meningkatkan kualitas sains petani. Saat ini SRI
berkembang cukup baik. Pengkajian dan sosialisasi dilanjutkan oleh KSP:
Tirtabumi, Cinta Alam, Turangga, Bunirasa, Alam Sejati, Tirtamukti dan
Bumisejati.
Pemerintah
Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang sangat potensial untuk
meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya Padi System of Rice
Intensification (S.R.I). Budidaya Padi S.R.I. telah diadopsi oleh banyak petani
di 28 negara (Uphoff, 2004). Budidaya padi yang berasal dari Madagascar ini
diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Prof. Dr Norman Uphoff dari
Cornell University, Amerika Serikat tahun 1997. Namun perkembangan Budidaya
Padi S.R.I. di Indonesia terasa lambat.
Keuntungan
lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I adalah mengurangi emisi CH4 karena
sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari penerapan
Budidaya Padi S.R.I. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan
komitmennya untuk berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui
penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas, emisi metan dari sawah juga akan
berkurang secara nyata sehingga secara nasional, Pemerintah Indonesia dapat
menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi CH4.
1.2. Prinsip Budidaya SRI
SRI
atau System of Rice Intensification tertumpu pada 4 hal pokok yaitu :
1.
Menanam bibit muda (5 – 15 hari setelah
semai)
2.
Menanam 1 bibit pertitik tanam
3.
Mengatur jarak tanam lebih lebar (30 x
30 cm sampai 50 x 50 cm ; di Indonesia, jarak tanam ideal untuk SRI adalah 35 x
35 cm atau 35 x 35 cm)
4.
Manajemen pengairan yang super hemat
dengan cara intermitten (terputus ; berselang seling antara pemberian air
maksimal 2 cm dan pengeringan tanah sampai retak).
Selain keempat hal tersebut, sangat
dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik. Pupuk organik selain menyediakan
unsur hara yang lengkap (makro dan mikro) juga memperbaiki struktur tanah
sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, udara yang cukup bagi
perakaran, dan meningkatkan daya ikat air tanah.
Di bawah ini adalah
prinsip budidaya yang telah diterapkan oleh Proyek Disimp selama lebih dari 5
tahun di berbagai lokasi pengembangan daerah irigasi.
1. Pengolahan
Tanah
Pengolahan tanah
dilakukan sesuai anjuran pada sistem konvensional. Sangat dianjurkan untuk memberikan
pupuk kandang / kompos / pupuk hijau saat pembajakan tanah. Di sekeliling
petakan dibuat parit sedalam 30 – 50cm untuk membantu saat periode pengeringan.
2. Pembibitan
Pembibitan dalam
SRI sangat dianjurkan dilakukan dalam kontainer platik, kayu, anyaman bambu
yang dilapisi daun pisang, atau apa saja yang dapat digunakan. Hal ini untuk
mempermudah saat pindah tanam. Media tanah untuk pembibitan sebaiknya
mengandung kompos atau pupuk organik yang baik dengan ketebalan 4-5 cm. Benih
diberi perlakuaan khusus agar didapatkan benih yang paling baik.
3. Pindah
Tanam
Sebelum pindah
tanam sebaiknya lahan telah betul-betul rata dan kemudia dibuat garis tanam
dengan menggunakan caplak agar pertanaman teratur dengan jarak tanam seragam.
Jarak tanam yang dianjurkan adalah 30 x 30 cm, 35 x 35 cm, atau pada tanah yang
subur dapat diperjarang sampai 50 x 50 cm.
Bibit dapat
dipindahtanamkan pada umur 5 – 15 hari setelah semai (berdaun 2) dengan jumlah
1 bibit perlubang. Pembenaman bibit sekitar 1 – 1,5 cm dengan posisi akar
membentuk huruf L. Caranya adalah dengan membenamkan bibit pada jarak sekitar
10 cm di belakang titik tanam, kemudian digeser menuju titik tanam, sehingga
posisi akar seperti huruf L.
4. Pemupukan.
Pemupukan
dilakukan sesuai anjuran setempat, baik dosis maupun teknis pemberian. Hal ini
disebabkan karakteristik kesuburan tanah yang berbeda-beda di setiap lokasi.
Apabila menggunakan pupuk kandang, dosis pupuk kimia dapat dikurangi (mengenai
hal ini sebaiknya berkonsultasi dengan pihak Cabang Dinas Pertanian setempat).
5. Penyiangan
/ Pengendalian Gulma.
Pengendalian
gulma sebaiknya dilakukan sebanyak sekurangnya 3 kali selama masa tanam sesuai
dengan kondisi di lapangan. Pengendalian gulma yang baik sebaiknya menggunakan
alat weeder (lalandak) yang lebarnya disesuaikan dengan jarak tanam. Gulma yang
tercabut dapat dibenamkan atau disisihkan (dalam hal ini bila dominansi jenis
gulma yang berumbi seperti teki).
6. Pengairan
Pengairan atau
pemberian air dilakukan secara intermitten atau terputus-putus. Pada awal
penanaman, pemberian air dilakukan sampai kondisi minimal macak-macak atau
maksimal sekitar 2 cm. Kemudian dibiarkan mengering sampai kondisi tanah mulai
terbelah-belah dan mulai lagi dengan pemberian air maksimal, begitu seterusnya.
Kondisi tanah yang kering terbelah memberikan kesempatan oksigen lebih banyak
masuk dalam pori-pori tanah sehingga akan memperbaiki proses respirasi
(pernapasan) perakaran. Kondisi ini tentu akan meningkatkan pertumbuhan
perakaran dan perkembangan anakan. Seperti juga pada sistem konvensional,
pemberian air dihentikan saat periode pemasakan bulir padi.
7. Pengendalian Hama dan Penyakit.
Dalam metode
SRI, pengendalian hama dilakukan dengan sistim PHT. Dengan system ini, petani
diajak untuk bisa mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari,
tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali
hama dan penyakit tanaman. Cara yang dilakukan petani misalnya dengan
menempatkan bilah-bilah _isban/ajir di petakan sawah sebagai “terminal” capung
atau burung kapinis Selain itu petani juga menggunakan pestisida berupa ramuan
yang diolah dari bahan-bahan alami untuk menghalau hama.
Untuk
pengendalian gulma, metode SRI mengandalkan tenaga manusia dan sama sekali
tidak memakai herbisida. Biasanya digunakan alat bantu yang disebut “susruk”.
.Ini adalah semacam garu yang berfungsi sebagai alat pencabut gulma. Dengan
alat ini, gulma yang sudah tercabut sekaligus akan dibenamkan ke dalam tanah
untuk menambah bahan didalam tanah. Perlu diingat, bahwa dalam aplikasi metode
SRI, gulma yang tumbuh akan _isbandi banyak karena sawah tidak selalu ada dalam
kondisi tergenang air.
8. Panen
Panen dilakukan
setelah tanaman menua dengan ditandai dengan menguningnya semua bulir secara
merata. Bila bulir digigit tidak sampai mengeluarkan air. Dari pengalaman di
lapangan, dengan pemasakan bulir pada SRI lebih cepat terjadi sehingga umur
panen lebih cepat dan bulir padi lebih banyak dan lebih padat.
Demonstrasi area
yang dilakukan selama ini membuktikan bahwa SRI mampu memberikan kelebihan
hasil panen seperti :
·
Tinggi tanaman lebih tinggi mulai umur
tanaman 60 hari
·
Jumlah anakan 2 kali lebih banyak sejak
umur 40 hari
·
Jumlah anakan produktif meningkat 2 kali
·
Jumlah bulir permalai lebih banyak
·
Jumlah bulir bernas lebih banyak
·
Berat bulir per 100 butir gabah lebih
tinggi
·
Kadar air saat panen lebih rendah
Dengan sejumlah
peningkatan tersebut di atas, sudah pasti SRI memberikan nilai produktivitas
yang jauh lebih tinggi disbanding dengan metode konvensional.
1.3.
Kesimpulan
Metode
SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha,
selain itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi
gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat
penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar